Siapa yang tidak tahu Jam Gadang? Ikon khas Kota Bukittinggi ini sangatlah populer tidak hanya dikalangan wisatawan lokal saja melainkan juga mancanegara. Nah, apabila anda sedang berada di Bukittinggi, rasanya kurang lengkap jika tidak mengunjungi Jam Gadang.
Penamaan nama “Gadang” sendiri diambil dari bahasa Minangkabau yang artinya besar. Hal ini tidak mengherankan karena keempat sisi menara tersebut berdiameter cukup besar, yaitu 80 cm.
Di balik kemegahannya, Jam Gadang ternyata menyimpan fakta sejarah serta keunikannya tersendiri, loh. Bahkan berkaitan dengan Menara Bigben di London. Wah, benarkah? Yuk, langsung kita masuk ke ulasan selengkapnya.
Sejarah Jam Gadang
Tahukah anda bahwa pembangunan menara Jam Gadang sudah dimulai sekitar tahun 1826. Dengan kata lain menara megah ini sudah dibuat sejak Belanda masih menjajah Indonesia. Menara Jam Gadang adalah kado khusus untuk sekretaris kota Bukit Tinggi yang saat itu dijuluki controller, dia bernama Rook Maker.
Sementara itu untuk design Jam Gadangnya dibuat oleh Yazin dan Sutan Gigi Ameh.. Terlihat ya, dari namanya. Keduanya adalah arsisitektur asli Indonesia. Peletakan batu pertama untuk Jam Gadang dilakukan oleh putra Rook Maker, saat itu usianya masih 6 tahun.
Pembangunannya sendiri menghabiskan dana yang cukup besar, yaitu sekitar 3000 gulden. Angka ini terbilang fantastis sehingga tidak heran dalam perkembangan pembangunannya Jam Gadang membutuhkan waktu yang lama.
Uniknya, nih, ternyata Bangunan Jam Gadang tidak dibuat dari besi dan adukan semen, loh. Wah, percaya tidak? Hebat bukan menara sebesar itu ternyata hanya mengandalkan campuran pasir putih, kapur, serta putih telur.
Menurut para ahli arsitektur di dunia, putih telur ternyata tidak hanya bermanfaat bagi kecantikan namun juga dipercaya mempunyai kandungan zat perekat yang sangat kuat. Jika anda pernah membaca sejarah bangunan-bangunan lain yang terkenal di dunia seperti Colloseum di Roma, Masjid Raya Sultan di Riau, dan Candi Borobudur di Jogja semuanya menggunakan putih telur.
Mungkin anda bertanya-tanya setelah puluhan tahun berlalu, apakah ada perubahan pada Jam Gadang? Jawabannya tentu saja ada. Dalam perkembangannya hingga saat ini, ornamen Jam Gadang telah beberapa kali mengalami perubahan. Perubahan tersebut khususnya pada bagian atap.
Pada saat pertama kali dibangun, atap menara Jam Gadang berbentuk bulat dan berdiri patung ayam jantan diatasnya yang menghadap ke arah timur. Ornamen ini adalah khas masyarakat Eropa. Setelah itu, ketika masa penjajahan Jepang berlangsung, atap tersebut direnovasi kembali menjadi bentuk seperti Pagoda atau Klenteng. Sampai akhirnya setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan, di ubah lagi menjadi bentuk seperti adat rumah Minangkabau.
Tidak berhenti sampai disitu, Renovasi terakhir Jam Gadang dilakukan tahun 2010 lalu oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI). Dalam pe-renovasi-anya mereka bekerja sama dengan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta dan pemerintah Kota Bukittinggi. Renovasi tersebut akhirnya diresmikan per tanggal 22 Desember 2010. Tepatnya pada saat ulang tahun kota Bukittinggi ke-262.
Se-Eksklusif Bigben – London
Jam Gadang memiliki luas sekitar 13 x 4 meter dengan tinggi 26 meter. Bagian dalamnya terdiri dari beberapa tingkatan. Nah, pada bagian teratas dijadikan tempat penyimpanan bandul.
Anda masih ingat dengan gempa yang menerjang kota Bukittinggi tahun 2007 silam? Yup, gempa berkekuatan 5,8-6,4 skala richter tersebut berhasil membuat bandul Jam Gadang patah. Namun dengan gesit, pemerintah Bukittinggi langsung menggantinya dengan yang baru. Jadi, bandul yang anda lihat sekarang ini adalah versi anyar.
Mesin Jam Gadang juga tidak dibuat biasa, loh. Melainkan sangat eksklusif. Mesin tersebut hanya ada dua unit saja di dunia. Satu dipakai di jam besar Big Ben di London, Inggris dan satunya lagi pada Jam Gadang. Mesin jam ini bernama Brixlion dibuat oleh perusahaan asal Jerman bernama Vortmann Relinghausen. Keren sekali, bukan?
Wajah Baru Jam Gadang
Jam Gadang saat ini hadir dengan wajah baru dan atmosfer baru. Taman di sekitar Jam Gadang kini sudah diperluas. Selain itu Jam Gadang pun sekarang dijadikan sebagai ruang terbuka bagi masyarakat sekitar yang ingin menyelenggarakan berbagai event tertentu, seperti festival, bazar dan lain-lain.
Ada beberapa café yang dapat dijadikan tempat nongkrong sambil menikmati pemandangan. Jika ingin belanja oleh-oleh untuk dibawa pulang, disekitar Jam Gadang terdapat beberapa pasar yang bisa dikunjungi. Para pedagang disana banyak menjajakan aneka pernak-pernik khas Bukittinggi seperti kaos, kemeja, pin dan lain-lain.
Apabila anda datang pada malam hari, maka akan menyaksikan atraksi dari air mancur berwarna-warni yang sangat keren jika anda jadikan background untuk berfoto atau merekam video.
Tertulis dijadwal bahwa air mancur tersebut baru akan bertaraksi dari pukul 7 hingga 10 malam. Lampu-lampu yang menyala pada Jam Gadang pun semakin menambah grande-nya suasana di sana.
Untuk mencapai lokasi Jam Gadang, para wisatawan bisa menggunakan jalur darat. Jika datang dari Kota Padang perjalanan dapat ditempuh dengan estimasi 2 jam. Setelah anda sampai di kota Bukit Tinggi, maka bisa melanjutkan perjalanan langsung ke lokasi Jam Gadang.
Misteri Angka IV Pada Jam Gadang
Jika anda lebih teliti ada yang unik dengan pemilihan angka 4 pada Jam Gadang. Jam ini memang memakai angka romawi sebagai penunjuk waktunya, namun angka 4 yang seharusnya ditulis IV ternyata di Jam Gadang justru IIII, loh. Kira-kira kenapa, ya?
Hal ini memang menjadi misteri dan keunikan tersendiri. Setidaknya ada beberapa pendapat kenapa angka 4 romawi pada Jam Gadang ditulis IIII dan melenceng dari pakem penulisan angka romawi yang saat ini kenal.
Pendapat pertama menyebutkan bahwa angka IIII pada Jam Gadang merujuk pada kekhawatiran Belanda pada simbol IV. Belanda menerjemahkan simbol tersebut menjadi singkatan “I Victory”. Jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia artinya adalah “Aku Menang”. Belanda sangat takut angka IV menjadi pemicu semangat rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari mereka
Pendapat kedua, sedikit horror. Angka IIII diyakini merujuk pada jumlah korban yang meninggal dan dijadikan tumbal dalam pembangunan menara jam tersebut.
Pendapat ketiga, penggunaan angka IIII hanyalah karena masalah teknis. Jika angka IV tetap keukeuh digunakan, maka para pekerja harus membuat huruf X 4 batang. huruf I 16 batang dan huruf V 5 batang, sehingga tidak ekonomis. Apabila angka empat tetap ditulis memakai simbol IV, ada 3 batang huruf V yang harus terbuang percuma.
Pendapat terakhir, menyebutkan bahwa memang pada awalnya penomoran romawi itu sagat bervariasi. Masa romawi awal, angka empat ditulis IIII dengan empat huruf I. pembuktian hal ini terlihat pada jam matahari yang yang dibuat sebelum abad ke-19 yang hampir semuanya menggunakan IIII. Ini cukup logis, karena Jam Gadang memang dibuat pada awal abad ke 19
Kendati demikian jika kita mengacu pada Menara Big Ben, Menara tersebut justru tetap mempertahankan IV sebagai penomoran angka 4 dalam romawinya. Yah, memang membingungkan. Sampai saat ini belum ditemukan satupun mana pendapat dan bukti yang akurat. Biarlah itu tetap menjadi misteri yang akan membuat orang tertarik untuk berkunjung ke Jam Gadang.
Nah, itulah ulasan lengkap tentang Jam Gadang. Pokoknya jika anda sedang di Bukit Tinggi, pantang pulang jika belum mengunjungi Jam Gadang ini. Akhir kata semoga bermanfaat bagi anda dan sampai bertemu lagi pada artikel menarik berikutnya.